🪄 Doa Pengasih Bahasa Aceh
DoaMohon Inspirasi : Om Prano Dewi Saraswati Wajebhir Wajiniwati Dhinam Awinyawantu. Artinya : Ya Tuhan Dalam Manifestasi Dewi Saraswati, Hyang Maha Agung Dan Maha Kuasa, Semoga Engkau Memancarkan Kekuatan Rohani, Kecerdasan Pikiran, Dan Lindungilah Hamba Selama-Lamanya. 11. Doa Mohon Kecerdasan :
DoaPengasih ini berkhasiat, orang yang awalnya berniat jahat berkat doa ini bisa berubah menjadi kasihan dan memberi hadiah. Doa Pengasih ini dikenal sebagai Hirz Imam Ali Ridha (sa). Doa ini dikenal dengan nama Ruq`atul Jayb, yakni doa ini ditulis di kertas lalu disimpan di dalam saku dan dibawa saat akan menghadapi orang yang berniat jahat.
12 Bahasa itu berfungsi sebagai alat interaksi sosial. 13) Bahasa itu merupakan identitas penuturnya. Prinsip pembelajaran bahasa indonesia berbasis teks menurut kurikulum k13: 1) Bahasa dipandang sebagai teks, bukan semata-mata kumpulan kata-kata atau kaidah-kaidah kebahasaan. 2) Penggunaan bahasa merupakan proses pemilihan bentuk-bentuk
Doaagar keinginan terkabul, bacaan doa agar hajat terkabul, panduan doa untuk hajat terkabul. Dalam bahasa Arab, istigfar artinya memohon ampun kepada Allah SWT. Orang yang membiasakan diri beristigfar akan dijaga dari dosa-dosa sehingga permohonannya mustajab di sisi Allah. Temuan Cadangan Minyak, ESDM: Potensi Migas di Aceh
3tYem. Santri berdoa untuk mengusir Virus Corona di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Foto Suparta/acehkiniMengiring berbagai usaha untuk antisipasi menyebarnya Virus Corona di Aceh, maka doa dibutuhkan untuk memohon kepada Allah menjauhkan wabah itu dari Aceh dan Indonesia, sesuai tuntunan agama. Didasari alasan tersebut, masyarakat Aceh menggelar doa dan zikir bersama, dipusatkan di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Selasa malam 4/2. "Salah satu upaya dan senjata kita adalah doa. Doa adalah senjata orang beriman, doa dapat menolak bala," kata Ustadz Masrul Aidi, Pimpinan Dayah Babul Maghfirah Cot Keueng dalam tausyiahnya. Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah menyampaikan sambutan. Foto Suparta/acehkiniPerumpamaan dari muslim yang beriman adalah ikut merasakan apa yang dirasakan mereka yang terdampak dari sebuah kejadian musibah. Salah satu cara yang dapat dilakukan seorang muslim adalah menyampaikan doa dan zikir memohon kepada Allah agar musibah tersebut diangkat Allah dari muka Aidi menyampaikan kisah Saidina Umar bin Khattab. Pada suatu ketika, Umar melakukan perjalanan dinas ke negeri Syam bersama sahabat Rasulullah Muhammad SAW yang lain, Abdurrahman bin Auf. Dalam perjalanan, Umar mendengar Syam sedang dilanda wabah, lantas beliau mengajak rombongan untuk kembali. Abdurrahman bin Auf kemudian menggugat keputusan Umar tersebut, “apa anda hendak lari dari takdir Allah.” Umar menjawab, “Iya. Saya sedang lari dari kehendak Allah kepada kehendak Allah yang lain,” jelas Umar. "Karena itulah kemudian berlaku sikap karantina seperti sekarang. Islam yang pertama mengajarkan karantina," ujar Ustadz Masrul melakukan doa bersama usir Virus Corona di Aceh. Foto Suparta/acehkiniMenurutnya, sikap Pemerintah Aceh menyerukan doa bersama untuk mencegah Virus Corona merupakan sebuah kepedulian layaknya orang tua kepada anak yang menghendaki anaknya segera pulang dan bisa segera untuk dipeluk. Namun demikian, agama melarang mereka yang baru keluar dari daerah yang terkena wabah untuk berbaur dengan warga dari tempat lain. Salah satu tuntunan agama, adalah mengkarantina mereka hingga dipastikan mereka bebas dari segala wabah Gubernur Aceh, Nova Iriansyah mengatakan pelaksanaan zikir dan doa bersama digelar untuk mendoakan agar negeri ini dijauhkan dari wabah penyakit, serta mendoakan ratusan Warga Negara Indonesia yang baru dipulangkan dari China. Juga bentuk dukungan spiritual masyarakat Aceh kepada masyarakat dunia, Indonesia dan khususnya mahasiswa Aceh di China. Menurutnya, banyak mahasiswa Aceh yang berada di Wuhan, China saat merebaknya Virus Corona. Saat ini, wabah tersebut telah menewaskan lebih dari 400 jiwa. Banyak negara telah melakukan berbagai upaya pencegahan, agar virus tersebut tidak terinfeksi secara masif. “Saking berbahayanya virus ini, badan kesehatan dunia WHO telah mengumumkan situasi darurat kesehatan global,” katanya. Nova mengklaim, Aceh menjadi provinsi pertama di Indonesia yang memberikan respons cepat terhadap dampak yang muncul dari Virus Corona. "Respons kita sangat beralasan, banyak warga Aceh yang sedang menetap di beberapa kota di China dan sebagian besar mereka adalah mahasiswa yang sedang menuntut ilmu," katanya. Doa bersama di Masjid Raya Baiturrahman. Foto Suparta/acehkiniSejak virus itu teridentifikasi, Pemerintah Aceh telah melakukan penanganan serius terutama bagi warga dan mahasiswa yang masih berada di Wuhan dan beberapa kota lainnya di China maupun yang sudah kembali ke tanah air. Selain membuka posko informasi di Banda Aceh dan Jakarta, juga menetapkan rumah sakit rujukan. Sementara bagi mahasiswa yang masih berada di China, dikirimkan biaya logistik, juga memfasilitasi kepulangan mereka. Doa bersama yang dilakukan di Aceh, menjadi sandaran vertikal dalam membangun kesiagaan bencana tersebut, dengan meminta ampun dan bertaubat kepada Allah atas dosa dan kesalahan. "Hal itu adalah jalan satu-satunya agar Allah memberikan keselamatan dan menurunkan keberkahan kepada kita," kata yang digelar bakda Isya, dihadiri ratusan warga. Zikir dan doa bersama dipimpin langsung Pimpinan Majelis Zikir Mujiburrahman, Tgk. Asy’ari. [] Jemaah perempuan dalam doa bersama usir Virus Corona. Foto Suparta/acehkiniDoa dan zikir dipimpin oleh Tgk Asy'ari. Foto Suparta/acehkini
- Perang antara rakyat Aceh melawan Belanda yang terjadi sepanjang 1873-1912 menyisakan banyak cerita sejarah. Salah satunya, perlawanan yang dilakukan perempuan. Era itu memunculkan para pejuang perempuan tangguh, seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Meuligo, Pocut Baren Biheue, Tengku Fakinah, dan Inen Mayak Teri. Menurut Rosnida Sari dalam Acehnese Women A History of Acehnese Women Leaders 2016, mereka adalah simbol kekuatan perempuan yang tumbuh dari kearifan lokal berbasis Islam. Kearifan itu juga menguat dalam pendidikan karakter yang tergambar pada lirik-lirik do da idi. Dalam kebudayaan masyarakat Aceh, do da idi adalah syair pengantar tidur bagi anak-anak—atau peuayon aneuk dalam bahasa Aceh. Reni Nuryanti dan Bachtiar Akob dalam Perlawanan dari Ayunan 2020 menyebut, do da idi adalah alat pewarisan semangat jihad. Lain itu, Do da idi juga menjadi terapi psikologis untuk menurunkan ketakutan dan ketegangan dalam situasi perang. Lirik-lirik do da idi mengandung nilai jihad yang dimaksudkan sebagai perlawanan terhadap penjajah Belanda. Yusri Yusuf dan Nova Nurmayani dalam Syair Do Da Idi dan Pendidikan Karakter Keacehan 2013 menyebut, bagi masyarakat Aceh, ia merupakan senjata kultural dalam perlawanan terhadap orang kafir kaphe. Kemunculan do da idi tidak bisa dilepaskan dari sejarah Perang Aceh dan naskah Hikayat Prang Sabi yang menjadi inspirasinya. Anzib dalam Hikayat Prang Sabi Mendjiwai Perang Atjeh Melawan Belanda 1971 menegaskan bahwa sebagai karya sastra, Hikayat Prang Sabi punya posisi penting karena dua aspek. Ia memenuhi syarat keindahan bahasa sebagai karya sastra dan memiliki muatan pendidikan Hikayat Prang Sabi Semangat jihad fi sabilillah pertama kali menggema pascakekalahan laskar Aceh dari serdadu Belanda. Pada 24 Januari 1873, panglima militer Belanda Letnan Jenderal Jan van Swieten berhasil menduduki istana Kesultanan Aceh. Setahun kemudian pada 16 Maret 1874, Banda Aceh berubah nama menjadi Kutaradja. Dalam kondisi Aceh yang terpuruk itulah kemudian muncul kesadaran untuk bersatu di antara kalangan ulama, ulee balang, dan rakyat. Di bawah pimpinan Imeum Lungbata selaku ulama dan Teuku Lamnga—suami pertama Cut Nyak Dhien—selaku ulee balang, tercetuslah sumpah “wajib perang sabil”. Sumpah yang diucapkan di Aceh Besar itu lantas mendulang simpati para ulama dari wilayah lain. Lalu, muncullah Teungku Tjhik di Tiro yang didapuk masyarakat Aceh sebagai pemimpin perang sabil. Tak sendiri, Teungku Tjhik di Tiro juga disokong oleh adiknya, Teungku Tjhik Pante Kulu. Menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Imran Teuku Abdullah, Teungku Tjhik di Tiro kemudian meminta adiknya itu menggubah naskah syair yang nantinya dinamai Hikayat Prang Sabi. Jadi, Hikayat Prang Sabi sejatinya adalah karya sastra perlawanan. Para pakar sejarah dan budaya Aceh, seperti Anzib, Ali Hasjimy, dan Anthony Reid, kemudian mengakui Teungku Tjhik Pante Kulu sebagai pengarangnya yang sah. Sebagai karya sastra perlawanan, syair-syair Hikayat Prang Sabi amat kental dimuati nilai-nilai patriotisme, cinta tanah air, dan secara khusus mengajarkan tentang jihad melawan orang kafir untuk membela Islam. Orang kafir dalam konteks ini ditujukan pada penjajah Belanda. Sebagai misal, simaklah penggalan Hikayat Prang Sabi berikut ini. Diteungku pih neumoe sangat Menangislah Teungku tambah sedu Sajangneuh that h’ana sakri Sayangkan anak akan pergi Djak hee aneuk beuseulamat Berangkatlah sayang buah hatiku Keuloon taingat djeub-djeub hari Jangan lupakan gurumu ini Samlakoe tjut that guransang Muda belia sangatlah garang Kafee neutjang dum meugulee Kafir dicincang tikam berganda Djipagap lee kafee suwang Akhirnya terkepung muda pahlawan Muda seudang h’ana lheueh lee Jalan lepas sudah tiada Sikureueng droe kafee neutjang Sembilan kafir mati ditikam Muda sedang tak lihee Muda pahlawan berjuang berani Siplooh droe kafee njawong hilang Setelah sepuluh musuh dicincang Muda seudangreubah meugulee Muda belia syahid menemui Ilahi Hikayat Prang Sabi bukan hanya membentuk mental perlawanan terhadap Belanda, tapi juga mewujud menjadi strategi politik. Menurut Imran Teuku Abdullah, banyak pejuang Aceh yang maju ke medan perang dengan membawa potongan lirik Hikayat Prang Sabi. Potongan-potongan lirik itu kerap ditemukan pada jenazah mereka yang gugur. Menurut Ibrahim Alfian dalam Perang di Jalan Allah Perang Aceh 1873-1912 1987, lirik-lirik Hikayat Prang Sabi memang dianggap punya kekuatan spiritual dan kerap dijadikan azimat. Pasalnya, hikayat itu juga memuat ayat-ayat Alquran dan hadis Rasulullah yang ditulis oleh ulama dan dipandang sebagai sumber karamah. Kuatnya pengaruh Hikayat Prang Sabi mewujud pula dalam lirik do da idi yang biasa dilagukan para ibu pada saat menidurkan anaknya. Ada kemiripan di antara keduanya, terutama dalam aspek tema yang mencakup soal ketuhanan, jihad, juga harapan agar anak muda menjadi pejuang dan pembela Aceh nanggro. Menyanyikan do da idi dengan demikian sekaligus menjadi bentuk resiliensi dan “resistensi dari dalam” yang dilakukan perempuan Aceh. Perlawanan dari Buaian Do da idi adalah bentuk “resistensi sejak bayi” dan berfungsi sebagai penyampai pesan “wajib sabil” yang diperintahkan ulama. Perempuan Aceh ikut ambil bagian dalam proses pewarisan perlawanan rakyat Aceh kepada generasi penerus. Ruth Finnegan dalam Oral Traditions and the Verbal Arts A Guide to Research Practices 2005 menegaskan bahwa secara historis, perempuan Aceh amat mahir menyenandungkan sastra lisan. Mereka mampu memanfaatkan irama, rima, ragam bunyi, ungkapan, bahasa, simbol, dan tema yang terdapat dalam karya sastra lisan. Pada masa Perang Aceh di paruh akhir abad ke-19, ayunan bagi masyarakat Aceh bukan sekedar sarana menidurkan bayi. Di situlah para perempuan menyenandungkan do da idi. Jadi, sambil mengayun anak, para ibu sekaligus juga mengajarkan anak-anaknya tentang keberanian melawan Belanda. Mereka yang tidak ikut maju ke medan perang, pada akhirnya mewariskan harapan kepada anak-anaknya. Dari sinilah, benih perlawanan terhadap Belanda bersemi. Contoh dari narasi perlawanan itu seperti tergambar dalam lirik do da idi berikut ini. Allah hai do doda idang Seulayang blang ka putoh taloe Layang-layang di sawah putus tali Beurijang rayeuk hai muda seudang Cepatlah besar hai anak muda Tajak bantu prang bila nanggroe Ikut bantu berperang membela negeri Wahee aneuk bek taduek le Wahai anakku janganlah duduk kembali Beudoh sare bela bangsa Bangun berdiri bersama membela bangsa Bek tatakot keu darah ile Jangan takut meski darah harus mengalir Adak pih mate poma ka rela Sekira engkau mati, ibu merelakan Allah hai Po ilahonhaq Allah sang pencipta punya kehendak Gampong jarak han troh tawoe Kampung jauh, kita tak bisa pulang Adakan bulee ulon teureubang Seandainya punya sayap, aku akan terbang Mangat reujang troh u nanggro Supaya lekas sampai ke negeri Aceh Infografik Mewariskan Semangat Jihad Melalui Do Da Idi. Terapi Psikologis Selain sebagai sarana pewarisan semangat jihad, do da idi juga menjadi pereduksi ketegangan, kekhawatiran, ketakutan, atau bahkan kemarahan yang dirasakan oleh seorang perempuan. Pasalnya, syair do da idi juga memuat pujian, doa, dan selawat. Itu semua adalah “cara tradisional” masyarakat Aceh untuk memunculkan ketenangan. Sebagai misal, simaklah lirik do da idi berikut yang dikutip dari Syair Dodaidi dan Pendidikan Karakter Keacehan 2013 susunan Yusri Yusuf dan Nova Nurmayani. Laailaahaillallaah Kalimah thaibah keupayong page Kalimah thaibah payung akhirat Uroe tutong batee beukah Panasnya matahari sampai batu terbelah Hanco darah lam jantong hate Hancur darah dalam jantung hati Laailaahaillallaah Kalimah thaibah beukai tamate Kalimah thaibah bekal kita mati Taduk tadong zikir keu Allah Duduk dan berdiri zikir kepada Allah Han ek ngon babah ingat lam hate Tak sanggup dengan mulut, ingat dalam hati Lirik tersebut menggambarkan situasi psikologis, sosial, dan kultural masyarakat Aceh di masa perang. Ia lazim disenandungkan oleh mereka yang kebetulan tidak ikut berperang karena harus membesarkan anak. Meski jauh dari pertumpahan darah, kondisi lingkungan tidak serta-merta memberikan ketenangan batin. Karena itulah, perempuan Aceh melagukan lirik-lirik do da idi yang menggambarkan kegelisahan, ketegangan, ketakutan, bahkan kemarahan terhadap situasi. Mereka akhirnya mewakilkan perasaan dan pikirannya pada do da idi. Dengan demikian, do da idi tak hanya berisi kepasrahan perempuan, tapi juga harapan kepada pertolongan Allah. Itulah alasan lirik do da idi tersebut diawali dengan kalimat Laailaahaillallaah—kesaksian bahwa tidak ada tempat berlindung, kecuali Allah. Sebagaimana tersebut dalam Hikayat Prang Sabi, lirik do da idi juga menyuratkan bahwa keyakinan pada akhirat menjadi akhir perlawanan terhadap Belanda. Energi jihad menginspirasi untuk tetap mengangkat senjata. Ia menjadi simbol perjuangan mulia di mata Islam. Sebab dalam pandangan masyarakat Aceh, perang melawan Belanda adalah perang menegakkan agama Islam. Heroisme jihad seperti itulah yang dilantunkan para ibu kepada anaknya dalam buaian. Meski sedang meniti maut, perempuan Aceh yakin bahwa jihad akan berakhir syahid. Sebab itulah, Zentgraaf dalam Aceh 1983 menulis, “Tidak ada satu bangsa yang begitu bersemangat dan fanatik dalam menghadapi musuh selain bangsa Aceh dengan wanita-wanitanya yang jauh lebih unggul daripada semua bangsa lain dalam keberanian menghadapi maut.” - Humaniora Penulis Reni NuryantiEditor Fadrik Aziz Firdausi
Selain banyak membaca zikir, amalan lainnya agar doa cepat dikabulkan adalah dengan banyak bersedekah. Karena dengan bersedekah - Kehidupan seseorang di dunia tidak sama, semua sudah menjadi ketentuan Yang Maha Kuasa. Sebagai seorang muslim sebaiknya memperbanyak menunaikan ibadah wajib maupun sunah dan memohon doa untuk kebaikan selama hidup. Semoga kita semua mendapatkan rezeki yang berkah dari Allah SWT. Amalkan doa-doa berikut ini. Doa pembuka rezeki yang berkah. Berikut bacaan lengkap doa bahasa arab, latin dan terjemahan bahasa Indonesia. 1. Doa pembuka rezeki اَللَّهُمَّ اِنِّيْ اَسْئَلُكَ اَنْ تَرْزُقَنِيْ رِزْقًا حَلَالًا وَاسِعًا طَيِّبًا مِنْ غَيْرِ تَعْبٍ وَلَا مَشَقَّةٍ وَلَا ضَيْرٍ وَلَا نَصَبٍ اِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ Innaka 'ala kulli ta'bin wa laa masyaqqotin wa laa dhoirin wa laa nashobin rizqan halalan wasi'an thoyyiban min ghairin, allahumma innii as'aluka an-tarzuqani syai-in qadir. Artinya “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu agar melimpahkan rezeki kepadaku berupa rezeki yang halal, tanpa susah payah, tanpa memberatkan, tanpa membahayakan dan tanpa rasa lelah dalam memperolehnya. Sesungguhnya Engkau berkuasa atas segala sesuatu." 2. Doa pembuka rezeki Imam An-Nawawi Berikut ini merupakan doa pembuka rezeki dalam riwayat Imam An-Nawawi dalam karyanya Al-Adzkarul Muntakhabah min Kalami Sayyidil Abrar. بِسْمِ اللهِ عَلَى نَفْسِي وَمَالِي وَدِيْنِيْ. اَللَّهُمَّ رَضِّنِيْ بِقَضَائِكَ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا قُدِّرَ لِيْ حَتَّى لَا أُحِبَّ تَعْجِيْلَ مَا أَخَّرْتَ وَلَا تَأْخِيْرَ مَا عَجَّلْتَ Bismillâhi ala nafsî wa mâlî wa dînî. Allâhumma radhdhinî bi qadhâ’ika, wa bârik lî fîmâ quddira lî hattâ lâ uhibba tajîla mâ akhkharta, wa lâ ta’khîra mâ ajjalta.
doa pengasih bahasa aceh